Selasa, 17 Agustus 2010

Tidak Semua Ibu Berhati Ibu



Ibu sering disebut sebagai "madrasah al-ula", tempat belajar pertama kali bagi anak. Ibu satu-satunya wanita pendidik pertama yang berinteraksi dengan anak dalam proses pebentukan watak dan kepribadian buah hatinya. Bahkan pada saat kehamilannya, seorang ibu disadari atau tidak telah melakukan proses tarbiyah itu sepanjang kehamilan yang melelahkan. Lebih tepatnya letih yang bertambah letih (wahnan 'alaa wahnin)

Madrasah ibu dibangun di atas dasar nilai ruhani yang paling kokoh yaitu rahim;kasih sayang, modal terpenting dalam setiap proses pendidikan. Rahim ibu hanya satu dari berjuta-juta rahim milik manusia karunia Allah, dan hanya seorang ibu yang paling memahami eksistensi rahim kepada buah hatinya.

Bukti yang paling kasat mata dari dari ungkapan ini, bahwa dalam dekapan ibunya, bayi lebih cepat dapat tidur pulas dengan nyaman dan terpuaskan emosinya daripada dalam dekapan wanita lain. Hanya seorang ibu yang paling mengerti rengekan dan tangisan buah hatinya, di saat sauminya tengah dibuai mimpi indah memuaskan kantuknya. Saat orang lain lebih suka memilih bentakkan dan gemerutuk gigi kemarahan, ibu lebih memilih sapaan lembut dan senyum dikulum mengingatkan kesalahan buah hatinya.

Dan subhanallah, ibu satunya-satunya orang yang dengan rahimnya, rela menghisap cairan yang menyumbat hidung anaknya saat flu dan pilek. Dan ... ah, terlalu banyak untuk dikumpulkan.

Bagaimana dengan ibu yang kejam, yang meninggalkan anaknya sendiri dalam ketakutan ? Atau dengan sengaja membuangnya di tepi jalan dalam keadaan hidup atau telah kaku membiru ? Apakah tidak ada rahim di dalam dirinya ? Bukan. Mereka bukanlah ibu.

Mereka hanya wanita biasa yang dengan alasan tertentu mencampakkan sementara naluri keibuannya. Mereka bukanlah seperti ibu Musa yang menghanyutkan bayinya di sungai karena perintah wahyu untuk menyelamatkan bayinya dan akhirnya mendapatkan keleluasaan menumpahkan rahimnyadi istana Fir'aun setelah bayinya dilarung .

Membuang bayi yang masih merah di tong sampah, di tepi jalan, di terminal atau dimana tempat umum adalah fenomena klasik. Terjadi dalam setiap kurun dan tempat. Tidak hanya terjadi di satu zaman jahiliyah dulu di tanah Arab, tetapi sampai kini di tanah Eropa, Australia,Afrika atau Asia sampai ke tanah Melayu. Tentu dengan varian, karakter dan cara-cara yang berbeda, tetapi sama dalam substansi.

Mengapa tetap terjadi bayi-bayi dibuang dan dibunuh? Banyak hal yang bisa menjawabnya. Yang paling klasik adalah kemiskinan dan kemunkaran zina sebagai pemicunya. Kemiskinan dan zina adalahsaudara kembar abadi. Keduanya tak akan pernah berpisah.

"Perzinaan mengakibatkan kemiskinan." (HR. Al-Baihaqi dan Asysyihaab)

Maka Selama kemiskinan dan zina tetap marak, maka selama itu pula "kanibalisme" terhadapa bayi akan terus terjadi.

"Anak (terkadang) menyebabkan kedua orang tuanya kikir dan penakut." (HR. Ibnu Babawih dan Ibnu 'Asakir).

Maraknya zina karena orang banyak berpaling dari Islam. Banyak pula orang yang telah Islam, tetapi menghina lembaga perkawinan dengan menggampangkan perceraian. Kasus-kasus perceraian yang diblow up media, pada akhirnya menjadi "pembenaran" sekelompok orang untuk menolak menikah.

Arti pernikahan kemudian mengalami degradasi sakralitas sebatas akad sekedar mendapat surat nikah. Karenanya banyak di antara mereka lebih memilih cara hidup seperti hewan tanpa aturan nikah. Hidup serumah tanpa ikatan pernikahan, karena menurutnya lebih simpel, praktis, tanpa beban. Kapan saja dia mau, dia datang, kapan dia bosan, saat itu juga ia bebas melenggang pergi.

Itulah falsafah hidup yang dibangun di atas dasar meterialisme hedonistik. Maka yang paling ketiban sial adalah wanita. Ia harus menanggung kehamilan, mengasuh dan membesarkan, memberi makan dan segala kehidupan standar lainnya. Maka membuang darah daging merupakan jalan pintas untuk keluar dari segala kerepotan itu.

Kejam? Ya, karena pelakunya hanyalah wanita dan bukan seorang yang berhati ibu pemilik madrasah pertama.

Zina dan membunuh bayi juga pernah digandengkan dalam satu informasi. Hadis riwayat Abdullah ra. menegaskan soal ini.

Abdullah ra berkata: Aku bertanya kepada Rasulullah saw: Dosa apakah yang paling besar menurut Allah? Rasulullah saw. bersabda: Engkau membuat sekutu bagi Allah, padahal Dialah yang menciptakanmu. Aku berkata:Sungguh, dosa demikian memang besar. Kemudian apa lagi? Beliau menjawab: Engkau membunuh anakmu karena takut miskin. Aku tanya lagi: Kemudian apa? Rasulullah saw. menjawab: Engkau berzina dengan istri tetanggamu". (HR. Muslim)

Dengan kata lain,selama masih berlangsung praktek-praktek perzinahan (prostitusi, seks bebas),kemiskinan dan berbagai ketimpangan sosial, maka kejahatan membuang bayi dan membunuhnya akan selalu mengikuti di belakangnya.

Kembalilah pada Islam. Inilah satu-satunya solusi yang paling efektif untuk menyelamatkan umat manusia. Islam menawarkan obat atas segala penyakit masyarakat. Dalam Islam akan ditemukan bagaimana seharusnya manusia menjalani hidup dan menata kehidupan.

Demi Allah, Islam menawarkan solusi universal yang efektif di setiap zaman dan tempat dengan kata kunci "jangan dekati zina", "pelihara kehidupanmu", "bantulah orang-orang lemah","ratakan kesejahteraan dengan zakat, infaq dan sedekah" dan seterusnya. Tetapi kemudian kita akan geleng-geleng kepala, sebab jalan ke arah itu banyak dirintangi oleh orang yang mengaku muslim.

Falsafah hidup dalam Islam bersifat pasti, bukan fatamorgana. Hidup bagi seorang muslim bukan sekedar menghirup dan menghembuskan nafas O2, minum di kala haus, makan di kala lapar atau melampiaskan nafsu seks saat birahi memuncak. Ada tanggung jawab moral etik, baik tanggung jawab individu maupun sosial yang kelak akan diperhadapkan dengan pengadilan Allah di akhirat.

Sebab itu, pernikahan diperintahkan sebagaimana agama mengaturnya. Dan zina diharamkan pada hakikatnya untuk menuntun manusia sampai kepada tanggung jawabnya di hadapan diri, masyarakat dan Allah yang telah memberikannya karunia rasa cinta dan birahi. Memang kenyataannya, aturan agama hanya dapat diterima dan dipatuhi oleh manusia yang memiliki akal budi dan fitrah yang sehat. Tidak bagi budak nafsu dan akal yang telah keruh atau rusak.

Al-Qur'an secara tegas berada di barisan paling depan soal perlindungan hak hidup anak. Bukan semata-mata sebagai respon atas tradisi jahiliyah Arab pra Islam yang gemar mengubur bayi wanita hidup-hidup. Tetapi karena Islam sebagai agama sangat menghargai kehidupan dan menganggapnya sebagai anugerah dan rahmat Allah yang harus dipelihara, betapapun keadaannya.

"Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kami lah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar". (terjemah QS. Al Israa [17] : 31)

"Oleh karena itu, Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israel, bahwa barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan, barang siapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas. Kemudia banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan di muka bumi".(terjemah QS. Al-Maa'idah[5] :32)

Pada akhirnya, negara sebagai pemegang "otoritas" kekuasaan bertanggung jawab memecahkan persoalan ini. Negara perlu melacak sumber penyakit utama maraknya zina dan pembunuhan atas-bayi-bayi tak berdosa itu. Baik upaya yang bersifat pencegahan, pembinaan, hukum dan regulasi atau undang-undang yang mangaturnya yang disesuaikan dengan karakteristik di setiap negara. Bahkan ada negara yang sangat tegas dengan memberlakukan hukum gantung bagi pelakunya. Semuanya dilakukan agar bencana kemanusiaan ini bisa dihentikan.

Untuk Wanita Ibu

Menjadi wanita adalah anugerah, menjadi wanita Ibu adalah anugerah dan kehormatan. Ibu dan anak seperti dua sisi mata uang yang saling bertaut. Dalam tataran idealisme, kebahagiaan Ibu adalah kebahagiaan anak, kebahagiaan anak adalah kebahagiaan seorang Ibu. Keduanya berkewajiban untuk saling memuliakan.

Seorang sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, siapa yang paling berhak memperoleh pelayanan dan persahabatanku?" Nabi Saw menjawab,"ibumu...ibumu...ibumu, kemudian ayahmu dan kemudian yang lebih dekat kepadamu dan yang lebih dekat kepadamu." (Mutafaq'alaih).

"Cintailah anak-anak dan kasihsayangi lah mereka. Bila menjanjikan sesuatu kepada mereka tepatilah. Sesungguhnya yang mereka ketahui hanya kamulah yang memberi mereka rezeki".(HR. Ath-Thahawi).

Kematian Anak Bukan Derita, Tapi Kebahagiaan Ibu

Hati seorang ibu tidak pernah berpaling dari cinta anak. Begitu besar cintanya, mengalahkan dari cinta apapun selain cintanya kepada Allah. Begitulah ibu yang menjadi madrasah bagi buah hatinya. Dari rahimnya lahir mujahid Islam yang keras berjuang untuk agamanya.

Dari tangannya lahir generasi terampil yang memberi banyak manfaat kepada kemanusiaan. Dari perhatiannya lahir jiwa-jiwa yang mampu memberi kehangatan hidup pada sesama. Wajarlah, ketika sang buah hati diasuh dengan baik atau diambil ruhnya oleh Allah, Rasulullah menghiburnya dengan kenikmatan surgawi.

"Barang siapa mempunyai dua anak perempuan dan diasuh dengan baik maka mereka akan menyebabkannya masuk surga". (HR. Bukhari)

"Seorang ibu yang kematian tiga orang puteranya lalu berserah diri (pasrah) kepada Allah, rela dan ikhlas, maka dia akan masuk surga. (HR. Muslim)

Apa hendak dikata, zaman semakin tua dan kejam. Rasa malu sudah banyak tercerabut dari hati wanita. Kasih sayang sudah terbang dari setiap hati manusia. Sehingga kita heran seribu heran, Singa si raja hutan yang buas, masih sayang sama anaknya. Tetapi kemarin, hari ini, mungkin juga esok, masih kita dapati wanita yang tega membunuh bayinya.Lalu di mana lokasi surga untuk wanita pembunuh bayinya? Padahal setiap "rahim"wanita bisa bicara dan menggugat :

Rahim adalah cabang dari nama Arrahman (ArrahmanArrahim). Rahim mengucapkan keluhan dan pengaduan: "Ya Robbi, aku telah diputus (hubungan kekeluargaanku), aku telah diperlakukan dengan buruk oleh keluarga dekatku. Ya Robbi, aku telah dizalimi mereka, ya Robbi, ya Robbi." Lalu Allah menjawab: "Tidakkah kamu ridha Aku menyambung hubunganKu dengan orang yang menghubungimu dan Aku putus hubunganKu dengan orang yang memutus hubungannya dengan kamu. (HR. Bukhari)

Kenapa wanita terus yang disalahkan? Tidak. Laki-laki yang mengantarkan wanita berlaku demikian sama buruknya.

Allahu a'lam.

SemogaRamadhan semakin mempertajam naluri Ibu dan perlindungan Ayah. Aamiin.




Sumber : WWW.ERAMUSLIM.COM